Ads Top

G30S/SOEHARTO, BUKAN G3OS/PKI

Minumen 7 Djendral Yang Tewas di Malam 30 September
Sudah hampir 2 bulan Soeharto dipaksa berhenti sebagai presiden oleh kekuatan mahasiswa dan rakyat. Dengan demikian gagallah rencananya untuk terus menjadi Presiden sampai dengan 2003. Sementara itu 21/2 bulan lagi adalah hari genapnya 33 tahun meletusnya G30S.  

Ki Oetomo Darmadi (Swadesi, No 1541/Th XXX/Juli 1998) mengemukakan, "Sudah 33 tahun tragedi nasional, apa yang disebut G30S menjadi ganjalan sejarah. Sudah seyogianya di era reformasi sekarang misteri tersebut disingkap secara transparan, jujur terbuka". 

        "Mengapa, ini penting sebagai pelajaran sejarah, betapa dahsyatnya
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut terhadap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Antara lain bangsa ini terbelah
menjadi dua: Orde Lama dan Orde Baru, dengan implikasi luas pada sektor
kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. Terlebih-lebih
jika ditilik dari hak dasar azasi manusia (HAM) hampir seluruh Deklarasi HAM
PBB (10 Des 1948) dilanggar. Pancasila hanya dijadikan lips-service, dan
hampir semua hak warga sipil yang termaktub dalam batang tubuh UUD 45
dinodai. Terlalu banyak lembar catatan keganasan rezim Soeharto selama 32
tahun berkuasa, sehingga ada yang menjuluki 'drakula', pembunuh berdarah
dingin den sebagainya. Tidak mengherankan jika Indonesia ditempatkan sebagai
pelanggar HAM terberat, sebab korban penubunuhan massal peristiwa G.30-S/PKI
1965 saja melampaui korban Perang Dunia II." 



        Sesungguhnya sudah lama dituntut supaya misteri G30S yang sesungguhnya
diungkap secara terbuka, jujur dan adil. Hanya saJa tuntutan semacam itu di
masa Soeharto berkuasa suatu yang mustahil bisa dilaksanakan. Sebab dengan
membuka misterinya, akan terbuka lah bahwa G3OS yang sesungguhnya ialah
G30S/Soeharto, bukan G30S/PKI. Mari kita telusuri! 



HUBUNGAN SOEHARTO DENGAN G30S
        Hubungan Soeharto, terutama dengan Kolonel Latief, seorang tokoh G3OS,
begitu akrab dan mesranya. Lepas dari persoalan apakah hubungan yang erat
itu karena Soeharto yang menjadi bagian atau pimpinan G30S yang tersembunyi,
atau karena kelihaian Soeharto memanfaatkan tokoh-tokoh G30S untuk mencapai
tujuannya menjadi orang pertama di Indonesia.

        Hubungannya itu dapat diketahui, ketika pada 28 September 1965, Kolonel
Latief bersama isterinya berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto di jalan H.
Agus Salim. Menurut Kolonel Latief (Kolonel Latief: "Pembelaan sidang
Mahmilti II Jawa Bagian Barat" 1978) maksud kunjungannya ialah guna
menanyakan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau.
"Oleh beliau justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari sebelum saya
datang, ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta, bernama
Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya info Dewan Jenderal AD yang akan
mengadakan coup d'etat terhadap kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno.
Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan".

        Seterusnya Kolonel Latief mengemukakan bahwa 30 September 1965 (malam), ia
berkunjung ke RSPAD untuk menjumpai Jenderal Soeharto, yang sedang menunggui
putranya yang tersiram sup panas. Sambil menjenguk putrandanya itu, juga
untuk melaporkan bahwa dini hari l Oktober l965 G30S akan melancarkan
operasinya guna menggagalkan rencana kudeta yang hendak dijalankan Dewan
Jenderal. Kunjungannya ke Jenderal Soeharto di RSPAD tersebut, adalah
merupakan hasil kesepakatan dengan Kolonel Untung dan Brigjen Supardjo.

        Seperti diketahui menurut Brigjen Supardjo (Tempo, 1 Oktober 1988) tanggal
16 September 1965 telah terbentuk gerakan tsb, di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Untung. Kolonel Latief semula berkeberatan Letkol Untung menjadi
pimpinannya dan meminta supaya gerakan dipimpin seorang jenderal. Tetapi
karena Kamaruzzaman (Syam) memtahankan supaya tetap Untung, karena ia
pengawal presiden, maka akhirnya Letnan Kolonel Untung yang memimpinnya.

        Kamaruzzaman ini menurut Wertheim (Wertheim: "Sejarah tahun 1965 yang
tersembunyi" dalam Suplemen Arah, No 1 th 1990) adalah "seorang double
agent". Yang dimaksud "double agent" Wertheim ialah agennya Aidit (dalam
Biro Khusus) dan agen Soeharto (yang diuntungkan oleh Peristiwa G30S).

        Sesungguhnya G30S tak akan bisa melancarkan operasi militernya dini hari l
Oktober 1965 itu, sekiranya Jenderal Soeharto mencegahnya dan bukan
membiarkannya. Tampaknya karena Soeharto berkepentingan agar Men/Pangad A.
Yani terbunuh, maka dengan diam-diam direstuinya operasi militer G30S yang
hendak dilancarkan itu. Jika Soeharto tidak berkepentingan terbunuhnya A.
Yani, tentu rencana operasi G30S itu akan dicegahnya, atau langsung saja
Kolonel Latief ditangkapnya, atau rencana G30S itu dilaporkannya kepada
atasannya, misalnya kepada Jenderal Nasution. Dengan demikian operasi G30S
itu gagal.

        Bagi Kolonel Latief dengan tidak ada pencegahan dari Jenderal Soeharto,
berarti Jenderal Soeharto merestuinya dan operasi G30S dini hari l Oktober
dilaksanakannya.

        Soeharto merestui operasi G30S itu secara diam-diam, karena ia mengetahui
ada sebuah konsensus dalam TNI-AD bahwa bila Pangad berhalangan, otomatis
Panglima Kostrad yang menjadi penggantinya. Dan Panglima Kostrad ketika itu
adalah dirinya sendiri.

MALING BERTERIAK MALING
        Paginya (pukul 6.30), dengan dalih ia mendapat informasi dari tetangganya,
Mashuri, bahwa Jendral A. Yani dan beberapa jenderal lain telah terbunuh,
Soeharto dengan Toyotanya, sendirian (tanpa pengawal) berahgkat ke Kostrad.
Melalui Kebun Sirih, Merdeka Selatan. Soeharto sudah tahu benar siapa
sasaran G30S.

        Sejalan dengan laporan yang disampaikan Kolonel Latief kepada Jenderal
Soeharto di RSPAD malam itu, maka daerah, dimana markas Kostrad terletak,
tidak diawasi atau dijaga pasukan G30S. Yang dijaga hanya daerah lain saja
di Merdeka Selatan. Ini menjadi indikasi adanya saling pengertian antara
G30S dengan Panglima Kostrad. Jika tidak ada saling pengertian, tentu daerah
di mana Markas Kostrad berada juga akan dijaga pasukan G30S.

        Menurut Yoga Sugama (Yoga Sugama: "Memori Jenderal Yoga" [hal: 148-153])
pada pagi 1 Oktober 1965 itu, dirinyalah yang pertama tiba di Kostrad.
Kepada Ali Murtopo, Yoga Sugama memastikan bahwa yang melancarkan gerakan
penculikan dini hari tersebut, adalah anasir-anasir PKI. Ali Murtopo tidak
begitu saja mau menerima keterangan Yoga Sugama tersebut.

        Setelah ada siaran RRI pukul 7.20, yang mengatakan telah terbentuk Dewan
Revolusi yang diketuai Kolonel Untung, maka Yoga Sugama memperkuat
kesimpulannya di atas. Sebab Yoga Sugama kenal Untung sebagai salah seorang
perwira TNI-AD yang berhaluan kiri. Untung pernah menjadi anak buahnya
ketika RTP II bertugas menumpas PRRI di Sumatera Barat.

        Jenderal Soeharto juga bertanya kepada Yoga Sugama, "Apa kira-kira Presiden
Soekarno terlibat dalam gerakan ini." Yoga Sugama dengan tegas menjawab
"Ya". Tuduhan Yoga Sugama bahwa dibelakang gerakan itu adalah anasir-anasir
PKI dan Presiden Soekarno terlibat, tentu saja sangat membesarkan hati
Soeharto. Karena dengan demikian rencananya untuk menghancurkan PKI dan
menggulingkan Presiden Soekarno mendapat dukungan dari bawahannya.

        Pada pukul jam 9.00 pagi itu Jenderal Soeharto (Tempo, 1 Oktober 1998)
memberikan briefing. Dengan tegas ia mengatakan: "Saya banyak mengenal
Untung sejak dulu. Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak didik tokoh
PKI Pak Alimin". Ini tentu bualan Soeharto saja. Sebab Pak Alimin baru
kembali ke Indonesia pertengahan tahun 1946. Bagaimana ia mendidik Untung
sejak tahun 1945, padahal ketika itu Pak Alimin masih berada di daratan
Tiongkok.

        Tidak lah kebetulan Kamaruzzaman mempertahankan Kolonel Untung menjadi
pimpinan G30S. Sudah diperhitungkannya, bahwa suatu ketika nama Untung tsb
akan dapat digunakan sebagai senjata oleh Soeharto untuk menghancurkan PKI.
Kamaruzzaman memang seorang misterius. Secara formal dia adalah orangnya
Aidit (dalam BC). Sedang sesungguhnya dia adalah di pihak lawannya Aidit,
dia bertugas menghancurkan PKI dari dalam.

        Untuk itu lah maka Kamaruzzaman, seperti dikatakan Manai Sophian (Manai
Sophiaan ("Kehormatan bagi yang berhak") membuat ketentuan bahwa persoalan
yang akan disampaikan kepada Aidit, harus melalui dirinya. Banyak hal yang
penting yang tak disampaikannya pada Aidit. Akibatnya setelah gerakan
dimulai terjadilah kesimpangsiuran, penyimpangan yang merugikan Aidit/PKI.

        Sesuai dengan rencananya, maka Soeharto (G.30-S pemberontakan PKI",
Sekneg, 1994, hal 146, 47) pada 1 Oktober tersebut tanpa sepengetahuan,
apalagi seizin Presiden/Pangti Soekarno mengangkat dirinya menjadi pimpinan TNI-AD.
Padahal jabatan Panglima suatu angkatan, adalah jabatan politik. Itu
merupakan hak prerogatif Presiden untuk menentukan siapa orangnya.
 
Dikesampingkannya hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI tersebut, diakui
Soeharto dalam 4 petunjuk kepada Presiden Soekarno yang harus disampaikan
oleh Kolonel KKO Bambang Widjanarko yang berkunjung ke Kostrad 1 Oktober
1965 itu. Kedatangan Bambang Widjanarko adalah untuk memanggil Jenderal
Pranoto Reksosamudro yang telah diangkat menjadi caretaker Menpangad
sementara oleh Presiden, untuk datang ke Halim menemui Presiden Soekarno.
Usaha Bambang Widjanarko untuk meminta Jenderal Pranoto Reksosamudro ke
Halim itu dihalangi Soeharto. Empat petunjuk tersebut ialah:

1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro dan Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah tidak
dapat menghadap Presiden Soekarno untuk tidak menambah korban. (Ini berarti
Soeharto menuduh Presiden Soekarno lah yang bertanggungjawab atas penculikan
sejumlah jenderal dini hari 1 Oktober tersebut. Sesuai dengan jawaban Yoga
Sugama kepadanya tentang keterlibatan Presiden Soekarno dalam G30S. Karena
Ketua Dewan Revolusi adalah Kolonel Untung, pasukan pengawal Presiden
Soekarno)

2. Mayjen TNI Soeharto untuk sementara telah mengambil oper pimpinan TNI-AD
berdasarkan perintah Tetap Men/Pangad. (Ini berarti perintah tetap
Men/Pangad, maksudnya konsensus dalam TNI-AD lebih tinggi dari hak
prerogatif presiden dalam menentukan siapa yang harus memangku jabatan
panglima suatu angkatan).

3. Diharapkan agar perintah-perintah Presiden Soekarno selanjutnya
disampaikan melalui Mayjen TNI Soeharto. (Ini berarti Mayien TNI Soeharto
yang mengatur Presiden Soekarno untuk berbuat ini atau itu, meski pun
dibungkus dengan kata-kata "diharapkan". Semestinya Presiden yang mengatur
Mayjen Soeharto, bukan sebaliknya. Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRI).

4. Mayjen TNI Soeharto memberi petunjuk kepada Kolonel KKO Bambang
Widjanarko agar berusaha membawa Presiden Soekarno keluar dari Pangkalan
Udara Halim Perdanakusumah, karena pasukan yang berada di bawah komando
Kostrad akan membersihkan pasukan-pasukan pendukung G3OS yang berada di
Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah sebelum tengah malam 1 Oktober 1965.
(Ini berarti Soeharto "memerintahkan" Soekarno meninggalkan Pangkalan
Udara HPK, karena Halim akan diserbu. Padahal sebelumnya Presiden Soekarno
telah memerintahkan kepada Brigjen Supardjo supaya menghentikan operasi
militer G30S dan jangan bergerak tanpa perintahnya. Tampaknya perintah
lisan Presiden/Pangti  Soekarno demikian, dianggap tidak berlaku bagi dirinya. Malahan situasi itu digunakannya untuk "memukul" pasukan G30S.

        Empat petunjuk Mayjen Soeharto kepada Presiden Soekarno melalui Kolonel
KKO Bambang Widjanarko menunjukkan: dengan menggunakan G30S, Jenderal
Soeharto mulai l Oktober 1965 secara de facto menjadi penguasa di Indonesia. Sebagai
langkah awal untuk memegang kekuasaan de jure di Indonesia nantinya. Ya, maling berteriak maling. Dirinya yang kudeta, PKI yang dituduhnya melakukan  pemberontakan.

1 komentar:

  1. seandainya ini bisa diangkat sebagai materi pembelajaran di buku sejarah. generasi muda yang mengerti akan lebih berfikir dan menyimpulkan kebenaran sejarah bangsanya :D

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.