Melanjutkan Pelurusan Sejarah 65
“Ada pencuri yang dikejar-kejar massa, lalu diteriaki PKI. Pencuri
itu mendadak berhenti dan mengatakan pada massa yang mengejarnya kalau
dirinya bukan PKI, tapi hanya pencuri”
Demikian lelucon Edward L
Poelinggomang, salah satu nara sumber pada sebuah diskusi dan peluncuran
buku “Sulawesi Bersaksi” yang digelar di Aula Prof. Mattulada
Universitas Hasanudin, Makasar, Senin 3 Desember 2013.
Diskusi dan peluncuran buku ini merupakan rangkaian dari beberapa
diskusi serupa yang telah digelar sejak 2 bulan lalu di beberapa daerah
untuk mempublikasi buku yang menguak tragedi 1965, khususnya yang
terjadi di Sulawesi.
Lelucon diatas sendiri adalah ungkapan miris yang menggambarkan
betapa PKI telah menjadi momok menakutkan di masyarakat pada jaman orde
baru, bahkan mungkin sampai sekarang.
Alur diskusi yang berlangsung sekitar 3 jam itu memahamkan bahwa
gerakan 30 September yang diubah Soeharto menjadi G30S/PKI telah
berhasil memainkan stabilitas kekuasaan politik orde baru selama 32
tahun. Lebih dari itu, hal tersebut dilanjutkan dengan “menggunting
sejarah” pembantaian massal terhadap orang-orang yang yang terlibat
maupun dituduh sebagai PKI.
Namun, kisah-kisah pembantaian, penyekapan, penangkapan, dsb, yang
mulai terkuak setelah reformasi, ujar Dr Suriadi Mappangara
M.Hum, seorang dosen yang juga menjadi nara sumber diskusi tersebut,
terasa masih sangat didominasi daerah Jawa dan Bali. Tak heran masih
banyak mahasiswa di Makasar sendiri yang berpikir peristiwa pembantaian
massal terhadap ‘orang-orang PKI’, kalaupun ada, hanya terjadi di
beberapa daerah saja. Sehingga kurang dekat dengan mereka. Disinilah
letak penting buku “Sulawesi Bersaksi” yang berisi kesaksian para korban
di Sulawesi. Bahwa luka dan tragedi 65 terjadi luas di Indonesia dan
melengkapi buku-buku yang sudah ada.
Pembakaran buku-buku yang tidak lagi mencantumkan PKI dibelakang G30S
beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh Kejaksaan dan pihak-pihak
tertentu pun tak ketinggalan disinggung. Perilaku ini dinilai bentuk
pembungkaman negara terhadap kajian ilmiah sejarah.
Dalam beberapa kesaksian yang diberikan korban, mereka umumnya
ditangkap dan disekap tanpa proses hukum. Banyak yang hilang tanpa jejak
setelah ditangkap paksa.
Antusiasme ratusan mahasiswa, dosen, guru dan korban-korban peristiwa
65 yang berkumpul dan berdiskusi di aula tersebut seakan berkomitmen
untuk terus meluruskan sejarah pada generasi bangsa kedepan.
Sumber : Arah Juang (tato)
Tidak ada komentar: